Friday, January 28, 2005

Review: Inner Sense

Sebenarnya film ini sudah lama, sekitar tahun 2002 yang lalu, namun saya baru berkesempatan menontonnya melalui DVD.
Ok, here goes nothing….
Onward!

“If you can’t forget the past, accept it!”-Jim Law-

Asia tampaknya menjadi sarang para hantu. Hal ini dapat terlihat dari begitu banyaknya film horror Asia yang berkualitas seperti film yang satu ini, Inner Sense, hasil karya produser Derek Yee bersama-sama dengan sutradara Lo Chi Leung.

Seperti tipikal film horror Asia lainnya dimana banyak terjadi penampakan makhluk halus, begitu pun juga pada film ini. Tokoh utamanya kali ini (dan selalu) adalah seorang wanita bernama Yan Cheung (Karena Lam) yang baru saja pindah ke apartemen barunya. Ia tampaknya adalah seorang yang terkena penyakit depresi berat, terlihat dari raut mukanya. Selama berada di apartemennya, ia selalu melihat orang-orang mati (dalam bentuk hantu/makhlus halus tentunya). Tak percaya dengan cerita Yan, maka sepupunya, Sin Yu Cheung (Maggie Poon), meminta tolong suaminya, Wilson Chang (Lee Chi Hung) untuk membawa sepupunya itu ke seorang psikiater, Jim Law (Leslie Cheung), yang merupakan rekan sekerja sekaligus sahabat Wilson.

Jim berpikir bahwa semua yang dialami Yan adalah ilusi yang muncul karena Yan kesepian dan mempunyai pengalaman yang buruk di masa lalunya. Dengan sepenuh hati, Jim menggunakan hampir semua waktunya untuk menyembuhkan Yan. Setelah Yan sembuh, tidak melihat hantu lagi, Jim mulai jatuh cinta pada gadis yang satu ini. Namun kemudian Jim mulai dapat melihat hantu juga. Dengan pertolongan dan cinta dari Yan, Jim berusaha melawan masalah sekaligus mengakhiri mimpi buruk ini.

Ciri khas film horror Asia terasa dalam film ini, dimana ketakutan yang dialami penonton lebih hebat daripada yang dialami sang karakter utama. Dengan kata lain, penonton lebih tersiksa. Hal ini dapat langsung dijumpai beberapa menit ketika film dimulai. Cerita kemudian berlangsung dengan alur yang sangat proporsional, karena memang kekuatan utama film ini adalah ceritanya, tanpa melupakan hantu-hantu untuk segera dimunculkan guna menegangkan urat syaraf yang sempat kendor akibat terlalu terfokus pada chemistry antara Yan dan Jim, yang memang disajikan dengan sangat menarik oleh sang sutradara. Musik-musik yang digubah oleh penata musik Peter Kam terdengar sangat merdu, bahkan juga untuk musik yang dipakai pada kemunculan hantu wanita pada bagian-bagian akhir film.

Saking jelasnya cerita yang disampaikan, seharusnya adegan-adegan yang bertele-tele yang menjelaskan masalah Jim berkaitan dengan masa lalunya tidak diperlukan lagi. Hanya dengan beberapa flashback masa lalu dan beberapa percakapan, masalah Jim sudah terlihat dengan jelas. Malah mungkin seharusnya ditambahkan penyelesaian masalah yang lebih panjang, karena penyelesaian masalah pada film ini tampaknya terlalu sederhana. Beberapa hal yang cukup mengganggu adalah penggunaan sound effect yang berlebihan saat kemunculan hantu-hantu. Penonton pastinya akan lebih kaget terhadap suara keras sebelum hantunya muncul, daripada terhadap hantunya sendiri.

Secara keseluruhan, film ini sangat menarik karena dibalut dengan cerita yang solid, satu hal yang sangat sulit ditiru oleh insan perfilman di Indonesia. Film ini juga menjadi bukti kedigdayaan film-film horror Asia di kancah perfilman dunia.

Cerita 7/10
Pemain 7/10
Ending 6/10
Scary-o-meter 6/10

Thanx to Gerimis, tempat gue nyewa DVD.

Tuesday, January 25, 2005

My (living but dead) Diary

Ren,
Masih ingatkah kau dengan pertemuan kita pertama kali?
Di toko buku ramanda, di sudut ruangan…

Masih ingatkah kau di saat-saat kita masih bersama?
Ketika itu aku menceritakan semua yang terjadi dalam kehidupanku setiap hari…
Dan kau selalu menanggapinya dengan penuh pengertian…

Masih ingatkah kau berapa umurku waktu itu?
Umurku masih 11 tahun….
Aku masih duduk di kelas 6 SD….

Tahukah engkau seprti apa aku saat itu?
Aku seorang yang pintar…
Rajin belajar, anak emas para guru….
Sederet piagam tergantung di dinding kamarku…
Sebagai bukti tidak pernah keluar dari ranking 3 besar selama di SD….
Selalu giat mengikuti beragam kegiatan…
Karate,pramuka,organ,retreat,….you name it!

Tapi…..
Aku seorang yang pemalu…
Berbicara dengan perempuan pun aku selalu tertunduk malu…
Aku tidak mempunyai banyak teman….
Apalagi sahabat…..
Karena aku seorang yang egois, tidak pengertian dan perhatian…
Anti sosial, dua kata itulah yang mungkin tepat….
Sampai lulus SMP, begitulah diriku….

Tahukah engkau apa yang terjadi kemudian?
Sejak aku masuk SMU?
Dan sampai sekarang?
Aku punya banyak teman (kalau tidak bisa dibilang banyak sekali)…
Pacar pun aku sudah bisa punya…
Dan juga sahabat yang selalu berada di sisiku….

Tahukah engkau mengapa ini bisa terjadi?
Jika kuingat-ingat siapakah yang berperan besar terhadap perubahanku ini…
Nama-nama seperti Ikram, Dithi, Danu lah yang melintas di benakku…
Dan nama-nama seperti Steve,mbak Ica, CBA 8….
Yang membuatku semakin PD terhadap semua ini…

Tapi tahukah engkau…
Bahwa aku kehilangan semangat belajar hari demi hari?
Bahwa kemalasanku semakin bertambah setiap hari?
Bahwa melawan nafsu pun aku tak berdaya?

Masih untung ingat Tuhan… Itu pun cuma INGAT…

Tahukah engkau bahwa terkadang aku merasa iri…
Pada mereka yang tetap selalu bisa menjaga performanya?
Pada mereka yang dulu pintar, sekarang pintar dan juga gaul?
Pada mereka yang dulu gaul, sekarang gaul dan juga pintar?

Kemarin aku berbicara dengan teman SMP-ku melalui telepon…
Dia berkata betapa aku telah berubah…
Jadi gokil, atau apapun artinya…
Dan sederet istilah lainnya…
Di satu sisi aku bangga…
Namun betapa malunya aku di sisi lain…

Ah Ren…,
Andai saja kau bisa menegurku di saat aku malas…
Dan menamparku di saat nafsuku menang atasku…

Andai saja kau tidak hanya sebuah saksi bisu…
Atas kehidupanku dahulu…
Diaryku…



Ren= diaryku yang cover depannya bergambar "Power Rangers", yang menurut pronounciation aslinya dibaca "Pawer RENjers"

Sunday, January 23, 2005

Review: Bangsal 13

Jangan mengetuk pintu dari dalam (gedung bioskop)…….

Kesuksesan yg “mendatangi” Tusuk Jelangkung tampaknya ingin diulangi Dimas Djayadiningrat sebagai produser untuk kembali menelurkan sebuah karya masterpiece horror terbarunya yaitu Bangsal 13, dengan menggandeng sutradara Ody C. Harahap.

Film ini bercerita tentang dua orang sahabat, Natasha (Editha) dan Mina (Luna Maya) yang mengalami kecelakaan mobil sehingga harus dirawat inap di sebuah rumah sakit terdekat. Karena bangsal-bangsal yang ada di rumah sakit tersebut telah penuh, maka dokter Azis, tanpa mengindahkan teguran dari seorang dokter senior, menempatkan mereka di sebuah bangsal yang telah lama tidak difungsikan selama 20 tahun, yaitu bangsal 13. Dari obrolan para suster,dapat diketahui bahwa ada sebuah mitos berkaitan dengan bangsal tersebut. Mitos itulah yang menjadi alasan mengapa bangsal tersebut selama ini digembok dan disegel.

Selama berada di dalam bangsal 13, Natasha dan Mina mengalami kejadian-kejadian aneh yang terjadi sesudah Natasha mencoba membuka sebuah pintu kecil di lantai yang terus mengeluarkan suara ketukan dari dalam. Keadaan bertambah menegangkan sesudah Mina melakukan suatu hal yang menjadi pantangan, yaitu mengetuk pintu dari dalam ruangan. Kejadian-kejadian aneh juga mulai terjadi pada pacarnya Natasha, ketika ia melakukan pantangan yang sama saat sedang berada di rumah bersama pasangan selingkuhannya. Dengan petunjuk dari seorang suster misterius, suster Frida, maka mereka berdua berusaha untuk menyelesaikan masalah ini.

Suatu kemajuan pada film horror Indonesia yang telah diprakarsai oleh Tusuk Jelangkung tampaknya tidak dapat dilanjutkan oleh Bangsal 13. Efek-efek video klip khas Dimas Djayadiningrat yang dipakai pada film sebelumnya tidak tampak pada film ini sehingga memang adegan-adegan yang terjadi terlihat lebih natural, tanpa mengurangi intensitas ketegangan. Namun kebocoran plot dimana-mana, background music yang berlebihan sehingga kerap menutupi sound effect, serta minimnya kemampuan akting para pemain membuat film ini menjadi sangat membosankan, terutama di bagian pertengahan. Jika anda sering menonton film-film horror tipikal Asia seperti The Eye, The Ring, Pulse, dan The Tale of Two sisters yang jarang mengikuti kaidah-kaidah film horror pada umumnya (ketegangan hanya di malam hari, bad person will die, surprise justru terjadi pada saat backgound music berhenti), maka adegan-adegan yang membuat kaget tidak akan mempengaruhi anda. Endingnya yang mengesankan pun tidak dapat menolong keterpurukan film ini untuk segera dilupakan oleh para penonton setelah keluar dari gedung bioskop.

Cerita 5/10
Pemain 4/10
Ending 7/10
Scary-o-meter 5/10

Thanks to:
Rini, yang udah nemenin gue nonton
Steven, buat infonya seputar cast&crew