Monday, May 09, 2005

Review: Kingdom Of Heaven

Ini adalah review yang ditulis oleh teman saya, Steven Gunawan, a movie maniac with amazing GPA. Nonton ok, kuliah ok! Wow, i envy him...

“Tuhan pasti mengerti mengapa kita membakar mayat-mayat ini. Kalau tidak, berarti Dia bukan Tuhan” ~ Balian of Ibelin

Begitulah kurang lebih terjemahan satu dari sekian banyak dialog favorit yang saya temukan dalam film terbaru Ridley Scott, Kingdom of Heaven. Awalnya saya cukup terkejut karena film ini ternyata dirilis worldwide tanggal 6 Mei 2005. Banyak alasan mengapa saya begitu antusias untuk menonton film besutan sutradara yang pernah membawa Russell Crowe menjadi aktor terbaik dalam ajang Academy Awards beberapa tahun silam lewat film karyanya, Gladiator. Pertama, tentu saja faktor Ridley Scott sebagai sutradara. Saya rindu akan film epik yang didominasi drama seorang warrior seperti yang pernah diraciknya dalam film Gladiator. Kedua, aktor impor asal Inggris, Orlando Bloom, yang sekarang benar-benar menjadi america’s sweetheart karena ketampanannya dan aktingnya yang menawan. Sekedar informasi, 5 dari enam film yang pernah ia bintangi sebelumnya selalu menghasilkan gross (USA) di atas $100 juta. Empat di antaranya bahkan di atas $300 juta! (Trilogi Lord of The Ring dan Pirates of The Carribean: The Curse of The Black Pearl). Alasan terakhir, saya sudah tidak sabar nonton summer movies. Di amerika sana sudah mau summer bukan? (apa sudah yah?). Yah, pokoknya saya berharap film ini menjadi awal yang baik untuk film-film liburan musim panas tahun ini. Penasaran dengan review dari saya? Tenang, saya cerita dulu tentang filmnya, barangkali Anda malah belum pernah dengar tentang film yang konon mengundang banyak kontroversi ini.

France, 1189. Godfrey (Liam Nesson) menjemput anaknya Balian (Orlando Bloom) untuk pergi ke Yerusalem mengabdi pada Raja Baldwin IV. Takdir memang sudah tergariskan; Godfrey terluka dalam perang kecil saat perjalanan dan nyawanya tak dapat diselamatkan. Balian pun diangkat menjadi Knight untuk menggantikannya memimpin daerah kecil bernama Ibelin. Mengingat kondisi Baldwin IV yang menderita penyakit kusta dan sekarat, Balian ‘disuruh’ mengikat janji untuk menikahi adik perempuannya, Sibylla (Eva Green). Keteguhan hati membuat Balian tidak dapat begitu saja menjual jiwanya untuk suatu hal besar, yang kelak mungkin akan mengubah sejarah kalau saja ia menuruti perintah sang raja kala itu.

Guy de Lusignan, suami Sibylla, akhirnya diangkat menjadi raja Yerusalem yang baru setelah Baldwin IV mangkat. Dengan menjadi raja baru, keinginan Guy (baca: Gi) untuk menghabisi seluruh umat muslim dapat terlaksana. Bersama antek-antek dan teman-(penasihat?)-nya, Reynald de Chatillon, ia menyatakan perang terhadap kaum muslim yang ketika itu dipimpin oleh Saladin (baca: Sala-hu-din). Sayang, tanpa taktik yang matang, walau telah diperingati sebelumnya oleh Balian yang sungguh sangat tidak disukai Guy terlebih karena perselingkuhan antara sang knight dan sang ratu, ia pun akhirnya kalah dan membawa petaka bagi bangsanya sendiri. Tiberias (penasihat Baldwin IV) yang tidak setuju akan perang tersebut, memutuskan untuk pergi ke Siprus, sedang Balian tinggal sendiri bersama anak buahnya. Dan Sibylla sebagai ratu menjaga kekokohan kota Yerusalem sampai titik darah penghabisan. Bagaimana kisah akhirnya? Siapakah pemenang dari perang antar dua agama terbesar dalam sejarah umat manusia tersebut? Akankah Balian menjadi raja Yerusalem yang baru? Tentu saja Anda ingin mengetahuinya sendiri bukan?

Well, saya langsung beranjak ke review saja. Puas, itulah kata yang saya ucapkan sesudah menonton film yang satu ini. Puas karena ceritanya, puas karena ending-nya, puas karena screenplay-nya, puas karena aktingnya, dan puas karena efek perangnya. Cerita sejarah ini dikemas dengan baik oleh sang sutradara. Dia berhasil mengesampingkan kontroversi yang berhembus sejak awal produksi hingga pemutaran perdana film ini. Kedua pihak dalam film ini dibuat sama-sama salah, atau malah keduanya dibuat benar sekali pun. Fair enough, huh? Akhir dari perang salib ini semakin menyempurnakan ide Ridley yang menyatakan bahwa tidak ada intensi untuk menjatuhkan atau mengagungkan agama tertentu.

Yang paling menarik dari film ini tentu saja screenplay-nya. HTM sebesar Rp. 17.500,00 di bioskop yang saya kunjungi untuk film berdurasi dua setengah jam lebih ini seperti tidak terasa karena banyaknya quote-quote berkualitas yang sungguh menjadi teori-teori baru dalam hidup saya pribadi. Jangan sampai Anda lewatkan sumpah ketika seseorang diangkat menjadi Knight, filosofi penasihat agama Yerusalem tentang bagaimana seharusnya agama itu sendiri, kata-kata kemarahan yang diucapkan Sibylla ketika dia ‘ditolak’ Balian dan kejengkelan Balian pada uskup Yerusalem saat ia hendak meng-‘kremasi’ prajurit-prajurit yang tewas. Kualitas skrip yang sungguh mendobrak realita, saat itu dan sekarang, yang dipagari oleh kaidah atau aturan yang percaya atau tidak terkadang justru membatasi pola pikir kita. Aneh memang, karena justru salah seorang yahoo user yang review-nya dianggap helpful malah berkomentar ‘only for the script I would give it a C’. Beda prinsip kali ya?

Bicara soal akting, Orlando Bloom was fine. Namun agaknya sulit untuk membentuk Bloom menjadi se-berkualitas Crowe. Mungkin image sang elf Legolas belum lepas dari Orlando (coba lihat saja gaya memanahnya di Troy). Tapi kualitas aktingnya banyak menunjukkan kemajuan, walau saya tetap ragu apakah namanya akan muncul dalam nominasi Golden Globe atau bahkan Academy Awards. Paling tidak, Ridley Scott tak salah memberinya kesempatan untuk menjadi satu-satunya tokoh utama dalam film ini. Sayang Liam Nesson tidak banyak mendapat tempat (keburu dijemput ajal sih), sedang Eva Green rupanya tidak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk menggali kualitas aktingnya.

Terakhir, perang yang disuguhkan Balian dan Saladin benar-benar menunjukkan bahwa otak jauh lebih penting daripada otot. Taktik brilian keduanya ditambah dengan ending yang baik menampilkan suguhan yang tidak akan membuat Anda bosan. Kalau dibandingkan, efek perang ini mungkin tidak sebaik pada LOTR, tapi tidak kalah dengan Troy dan tentu jauh lebih baik dari Alexander. Secara keseluruhan, saya melihat film ini patut ditonton. Selain kelima alasan di atas, Anda juga bisa belajar banyak tentang sejarah yang terjadi lebih dari 800 tahun lalu tersebut. Tak usah pusing siapa yang benar atau salah dan siapa yang menang atau kalah. Kerajaan surga toh bukan ada di dunia; dia ada di pikiran dan di hati kita.

Rating : 4 out of 5

Oh yeah. I forgot. This is how I suppose to rate huh?
Cerita : 7/10
Akting : 7/10
Ending : 7/10
Overall : 8/10

2 comments:

Anonymous said...

Pengen nonton ah!

Anonymous said...

Asyik oi filmnya, baru kali ini orang barat memenangkan Islam dlm perang. Piss