Thursday, April 28, 2005

Hard Stylish Action.

Dua bulan belakangan ini para pemilik “kotak hitam” Playstation2, yang sedang kehausan akan game-game RPG (Role Playing Game), justru dipuaskan oleh kehadiran game-game hard stylish action yang bermutu.

Hard stylish action merupakan suatu genre game yang berfokus pada aksi-aksi yang penuh gaya. Faktor eksplorasi dan puzzle kurang ditekankan. Kurang bukan berarti tidak ada. Salah satu cirinya adalah pertarungan melawan banyak musuh dengan menggunakan kombinasi tombol serang yang banyak serta membutuhkan kecepatan tangan dan ketepatan kita. Tentu saja yang disuguhkan kepada kita lewat layar TV adalah suatu grafis yang mengagumkan serta gameplay yang cepat dan menegangkan. Tak lupa diiringi dengan musik yang keras dan cepat, disesuaikan dengan tema game masing-masing.

Para gamer (baca: orang yang menganggap bermain video game adalah suatu hobi yang serius, mewah dan berkelas) tentunya sudah mengetahui salah satu game hard styish action yang dirilis bulan Maret lalu, yaitu Devil May Cry 3. Tidak ada yang berani menyangkal kehebatan franchise serial Devil May Cry ini. Sebagai prekuel dari cerita Devil May Cry 1, game ini begitu luar biasa. Aksi yang cepat, puzzle yang menantang, storyline yang cukup solid, serta iringan musik underground yang membakar semangat benar-benar memuaskan para gamer.

Kita tinggalkan Devil May Cry 3, game yang pastinya akan mendapatkan penghargaan paling tidak untuk satu kategori pada video game award manapun. Ada satu game dengan genre serupa yang kurang diperhitungkan karena dikembangkan bukan oleh developer terkenal. Saya pun hampir saja luput memainkan game ini.

God of War, adalah game hard stylish action yang berkisah tentang seorang pendekar pada zaman dewa-dewi di Yunani yang bernama Kratos. Ia adalah seorang prajurit didikan dewa perang Ares. Perbuatannya yang keji selama masih menjadi prajurit Ares membuat ia selalu tidak dapat tidur dengan tenang. Maka ia memohon kepada dewi Athena untuk menghapus dosa-dosanya agar ia dapat hidup tenang. Karena itu Athena meminta Kratos untuk membunuh Ares yang sedang mengacau-balaukan Yunani.

Gameplay yang cepat, variasi mini game yang banyak, storyline yag solid, serta iringan musik choir yang benar-benar dapat menghanyutkan kita ke suasana kota Athena membuat game ini seharusnya mendapat nilai lebih daripada nilai “B” yang diberikan oleh majalah Zigma. Grafis yang halus serta dukungan progressive scan dapat membuat para pemilik progressive TV/HDTV (High Definition TV) bersorak gembira. Mungkin hanya unsur sinematiknya yang lemah lah yang menjadi point minus game ini. Itu pun sebenarnya bisa tertutupi andai saja suara surround yang telah diimplementasikan pada game ini mengadopsi teknologi Dolby Pro Logic II.

Game ini dirilis awal bulan April lalu, saat yang tepat bagi para gamer karena mereka pastinya sudah menyelesaikan Devil May Cry 3. Sehingga tidak ada alasan bagi mereka untuk mengendorkan urat syarafnya dari bermain game hard stylish action. Kecuali mereka juga penggemar berat game bergenre FPS (First Person Shooting) yang tentunya sedang disibukkan oleh dua game FPS bermutu: Time Splitters Future Perfect dan Project Snowblind.

“Video games is the only education we have” –Agent Xanders of XXX-

Wednesday, April 27, 2005

Congrats

Jika mendengar nama Pangon Agung Sajdito Mataram, yang terbayang di benakku adalah sosok seorang anak laki-laki yang gendut,berkulit legam, dan sok tahu.Hanya itu lah kesan yang bisa kutangkap darinya selama 10 tahun (TK-SMP) belajar di sekolah yang sama dengannya. Hanya itu,karena aku jarang mengobrol dengannya. Soalnya aku tidak begitu betah berlama-lama berbicara dengannya. Pikirku, bisa bisa aku mati kebosanan mendengar nasehat-nasehatnya yang basi serta gaya bicaranya yang kaku.

“Aduuuuh, ni orang. Ngomongnya gede banget, banyak nasehat, dasar orang kolot! Mau jadi apa sih lo nanti? Liat aja ntar, gue bakalan jadi lebih sukses dari lo!”, begitu pikirku setiap kali dia mengoceh.

Lulus SMP, kami memasuki SMU yang berbeda. Anggapanku, bahwa aku akan jadi lebih sukses, terasa semakin mantap. Itu karena aku berhasil masuk SMU negeri terbaik di kotaku. Sedangkan ia hanya masuk SMU negeri terbaik ke-3.

“Ok, my bright future awaits me. Let’s see what kind of future awaits you!”

Lulus SMU, aku cukup terkejut juga mendengar bahwa ia memutuskan untuk masuk STT Jakarta. Wow, rupanya ia bersungguh-sungguh ingin melayani Tuhan. Baguslah, mengumpulkan harta di Surga. Sana gih!

“Ok, kalo gitu gue ngumpulin harta di bumi dulu, huehehehe…”

Aku tetap bersikukuh bahwa aku akan lebih sukses. Dasar pemikiranku adalah bahwa masuk STT belum menjamin apa-apa. Walaupun saya yakin dia telah menjadi sosok seorang pemuda hamba Tuhan yang benar-benar saleh, namun bisa saja ia tergelincir (ke dalam dosa) saat masih kuliah di tempat itu atau ketika ia menjadi pendeta nanti. Dan aku bisa belakangan bersungguh-sungguh melayani Tuhan setelah mengumpulkan harta di bumi terlebih dahulu sebanyak-banyaknya.

Bingung? Aku memang terlalu banyak berandai-andai…

Sampai suatu hari aku mendengar kabarnya yang sedang dirawat di ICU karena jatuh dari kereta.

“Kasihan loh Pangon, ndre. Kalo nanti sampai meninggal gimana? Kasihan…”, kata mamaku.

Kasihan? Seharusnya aku yang patut dikasihani. Jika aku yang berada di posisi Pangon saat itu, tentunya masih muncul banyak keraguan tentang nasibku di afterlife. Surga atau neraka? Sedangkan ia, posisinya di Surga sudah dipastikan! Bukannya ingin sok menjadi Tuhan, tetapi kalo melihat perilakunya yang sopan, alim dan rajin beribadah selama hidupnya, hal itu bukanlah suatu keraguan lagi.

Ketika beberapa hari kemudian aku mendengar bahwa ia telah meninggal dunia, rasanya aku ingin menangis. Bukan, bukan menangisi dirinya, melainkan menangisi diriku sendiri. Masa depanku masih belum jelas. Sedangkan ia … “melupakan apa yang telah di belakang(nya) dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapan(nya), dan berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan sorgawi…” (Filipi 3:13b-14).

Yang benar-benar ingin kukatakan kepadanya saat ini bukannya “kasihan”, “selamat tinggal”, dan ucapan lainnya seperti yang telah orang lain katakan kepadanya. Tapi yang ingin kukatakan adalah, “Congratulations, buddy!”.

Tak bisakah kau meminta kepada Tuhan untuk menyisakan satu tempat untukku di sana?

“Sebab aku merana..., tulang-tulangku gemetar, dan jiwaku pun sangat terkejut,…TUHAN, berapa lama lagi?... Lesu aku karena mengeluh; setiap malam aku menggenangi tempat tidurku, dengan air mataku aku membanjiri ranjangku…Aku ini ulat dan bukan orang, cela bagi manusia…” (Mazmur 6:3-4,7; 22:7)
------------------------------------

In memoriam:
Pangon Agung Sadjito Mataram (30 April 1985 – 24 April 2005)

Monday, April 18, 2005

Next time, think before unzipping!

Saya yakin hampir tidak ada yang mengenal siapa itu Asia Carrera. Terutama mereka yang berbudi luhur dan bermoral tinggi. Tetapi bagi yang suka menonton film biru (baca: film porno) nama Asia Carrera seharusnya bukan lagi menjadi nama yang asing untuk mereka. Bukan, ini bukan tentang kemolekan tubuhnya dan kelihaiannya bercinta di atas ranjang dalam adegan demi adegan. Tetapi ini tentang satu hal yang berkaitan dengan penyebab kematiannya beberapa waktu silam, yaitu AIDS.

Saya sempat kaget ketika teman saya mengatakan ,

“Asia Carrera kan ‘dah mati!”,

ketika kami sedang berada di lab biokimia bercakap-cakap tentang film biru. Padahal baru saja saya menonton beberapa filmnya beberapa hari sebelumnya. Dan ketika saya sedang menontonnya, saya berpikir,

“Ni orang pa kabarnya ya? Pasti sekarang dia lagi menikmati syuting demi syuting yang dia lakukan. Atau mungkin dia lagi menikmati uang demi uang yang mengalir ke kantongnya? Either way, damn!”.

Saya kaget, bukan lantaran tidak menyangka dia akan terkena AIDS. Tetapi karena tidak menyangka akan secepat itu dia meninggal tanpa sempat mencicipi “jerih payahnya” lebih lama lagi. Seketika itu terbayang di pikiran saya betapa mengerikannya “Heaven’s judgement”. Dan yang membuat saya lebih kaget lagi, kok bisa-bisanya saya, walau hanya sesaat, sempat merasa iri kepada Asia Carrera.

AIDS telah menjadi masalah serius di dunia ini. Ok,mungkin kita semua sudah bosan mendengarnya. Seperti bahasa salonnya,"udah basi gitu loooh!". Semua orang sudah tahu dan sadar. Namun sampai sekarang sepertinya tidak banyak orang yang menaruh perhatian serius pada penyakit yang satu ini. Kalaupun ada, mereka sepertinya hanya sok peduli, melepas tanggung jawab ini kepada orang lain, atau bahkan memberikan toleransi terhadap hal-hal yang satu ini. Iklan anti AIDS yang sering ditayangkan di TV, bagi saya terdengar seperti ini:

1. No free sex!
Yaaaah, kalau gak tahan ya sudah, gak apa-apa. Paling nggak...
2. Setia sama pasangan.
Masih gak bisa juga? Yo wes, gak apa-apa. Yang penting...
3. Kondomnya dipake!

Seharusnya di iklan berikutnya, ditambah point nomor 4:

4. Before making love, pray like this:
God, you know it would taste better without condom. Just don’t mess us with this HIV thing, will Ya’!

Orang-orang dewasa sekarang lebih suka menyibukkan diri menasihati para generasi muda dengan masalah yang sangat konyol, yaitu Narkoba. Mereka mencoba mengalihkan perhatian kita dari masalah AIDS yang menurut mereka agak tabu untuk dibicarakan. Terutama bagi orangtua terhadap anak-anaknya. Semua orang juga tahu, narkoba itu udah gak enak,dosa pula. Basiiiiii! Hanya orang-orang imbecile yang tidak tahu. Seperti kata sahabat saya, “Kalau mau (berbuat) dosa, ya yang enak donk!”. Ya, yang enak! Seperti free sex yang merupakan trend terselubung yang paling digemari saat ini. Trend yang dari dulu mungkin sudah dijalani oleh beberapa orang dewasa sekarang ini di masa mudanya, yang membuat mereka tidak dapat menasihati generasi muda tentang bahaya free sex karena mereka sendiri melakukannya. Trend yang paling sering diangkat ke permukaan sebagai suatu masalah serius, tetapi dengan terpaksa harus tenggelam kembali karena terdesak oleh isu ketabuan, HAM, dan toleransi-toleransi konyol lainnya sebagai alasan untuk menghindar. Ya, nikmat memang. Apalagi jika bisa bermain aman dan pada akhirnya bisa menghindari semua resikonya. But do you think Heaven’s judgement only happen on earth? So how will you face your afterlife?

Sobat-sobatku semua,seperti kata petuah bijak di film “Alfie”,

“Next time, think before unzipping!”

Sunday, April 10, 2005

Zigma, the reborn UNG

Tiga minggu telah berlalu dari maret ke-3 2005. Itu berarti hari terbitnya UNG (Ultima Next Generation) volume 84 sudah dekat. Karena itu saya putuskan untuk mampir ke Fitri Agency, agen majalah di stasiun depok baru yang biasa saya singgahi sepulang dari bogor dengan kereta. Sebelum sampai di sana, saya melewati sebuah kios majalah yang berada tepat sesudah gerbang pemeriksaan karcis. Saya berhenti sebentar untuk melihat-lihat apakah UNG 84 sudah terbit. Jika ada, tentu saja saya akan bergegas ke Fitri untuk membelinya, karena membeli di agen sudah tentu lebih murah. Tetapi setelah beberapa saat mencari, majalah tersebut tidak ada. Namun ada satu majalah yang menarik perhatian saya, yaitu Zigma.

AMAZING GAME MAGAZINE, begitulah slogan majalah tersebut. Pikir saya, kok ada ya majalah yang nekat ingin meramaikan pasar majalah game? Padahal untuk bersaing dengan Hotgame dan Gamestation saja, beberapa majalah game terpaksa tidak terbit lagi. Apalagi dengan UNG, yang merupakan majalah untuk para gamer advance.

Ketika melihat layout dan desain cover Zigma, saya merasa sangat familiar. Ya, mirip sekali dengan UNG. Saya tidak tergesa-gesa berasumsi bahwa majalah ini merupakan majalah UNG dengan nama baru. Saya masih trauma dengan perpecahan yang terjadi pada majalah Ultima Nation, yang berbuntut pada terbitnya 2 majalah dengan nama yang mirip, yaitu Ultima Cross dan Ultima Next Generation. Tetapi kecurigaan saya bertambah ketika melihat tulisan di covernya: featuring GrandC, Avante, Urameshi, Felix. Nama-nama tersebut merupakan para penulis handal UNG yang saya kenal dengan baik. Saya pun akhirnya membeli majalah tersebut. Ternyata pada halaman di balik covernya terdapat pernyataan yang meyakinkan saya bahwa majalah tersebut adalah UNG dengan judul baru serta visi dan misi yang baru.

Perubahan pertama yang dapat saya lihat adalah pada harganya. Harga UNG adalah Rp. 24.500,- sedangkan harga Zigma adalah Rp. 29.500,-. Hal ini benar-benar dapat dimaklumi karena cover dan kertasnya menjadi lebih tebal, begitupun juga dengan tampilan halaman-halamnnya yang menjadi full color. “Bye bye hitam putih”, begitulah tulisan yang saya baca di covernya. Isi dari Zigma tidak berbeda dengan UNG, hanya terdapat beberapa perubahan lay-out dan tambahan judul-judul artikel yang baru, namun menurut saya hal tersebut sudah cukup membuat majalah ini semakin solid dan tak tertandingi oleh para pesaingnya . Satu hal yang pasti, kualitas tulisan dari para authornya telah meningkat dan membuat majalah Zigma benar-benar enak untuk dibaca. Begitu pun dengan kualitas lay-out Felix yang semakin matang.

Perubahan nama yang dilakukan UNG bermaksud untuk menjadikan UNG menjadi sebuah media baru yang lebih informatif, lebih glamour. Sebuah media yang mampu memenuhi kebutuhan para gamer yang menganggap game adalah suatu hobi yang serius, mewah dan berkelas. Bukannya hanya sekedar membuat suatu upgrade dari UNG, yang telah banyak mengalami upgrade sejak edisi perdananya terbit, dan kalau dipikir-pikir lebih baik membuatnya menjadi satu majalah baru agar dapat menghilangkan kesan UNG, yang berdirinya pun berawal dari masalah, serta berbagai masalah lainnya yang kerap menjumpai UNG (kualitas cetak, cover, lem, kru palsu, hak cipta), terlepas dari fakta bahwa UNG adalah majalah game Indonesia yang berkualitas internasional. Saya optimis Zigma akan menjadi semakin besar, terkenal, dan mampu menjawab tantangan para gamer akan kebutuhan suatu media berkelas.

Good luck, Zigma!

Review: Robots

Blue Sky Studios yang sukses dengan Ice Age, yang hampir mendapat Oscar kalau saja tidak ada anime Jepang “Spirited Away”, kembali dengan formula mujarabnya menghasilkan film animasi kocak nan lucu, “Robots”. Tidak tanggung-tanggung usaha yang dilakukan Blue Sky demi kesuksesan film ini. Mulai dari proses pembuatan yang memakan waktu 3 tahun, bujet yang tinggi untuk CGI (Computer Generated Image), sampai mencari pengisi suara kelas wahid seperti Robin Williams, Ewan McGregor, Mel Brooks, dan Halle Berry.

Cerita bersetting di dunia dimana segala aktifitas berjalan layaknya kebudayaan manusia, hanya saja dilakukan oleh robot. Adalah Rodney (Ewan McGregor), seorang (sebuah?) robot yang sejak kecil tertarik dengan penemuan-penemuan dan bercita-cita untuk menjadi seorang penemu terkenal demi mendongkrak nasib hidupnya yang hanyalah seorang anak tukang cuci piring. Ia sangat menyukai sebuah acara televisi tentang sebuah perusahaan di Robot City yang sangat menghargai karya-karya penemu dari manapun. Perusahaan tersebut dipimpin oleh penemu senior di dunia robot, Bigweld (Mel Brooks).
Rodney pun memutuskan untuk pergi ke Robot City untuk menemui Bigweld.

Ibu kota lebih kejam daripada ibu tiri. Itulah yang dirasakan Rodney saat tiba di Robot City. Kesulitan demi kesulitan ia temui untuk mencari Bigweld, yang ternyata sudah posisinya di perusahaan sudah dikudeta oleh robot tiran, Ratchet (Greg Kinnear). Beruntung (atau justru sial?) di tengah perjalannya ia bertemu dengan Fender (Robin Williams) dan Pinwheller (Amanda Bynes), robot-robot dari kelompok pinggiran yang mencoba membebaskan diri dari tiran.

What an Impressive CGI! Itulah yang ada di benak saya ketika sedang menonton film ini. Teknologi ray tracing dan radiosity yang diimplementasikan pada fim ini benar benar memukau. Efek-efek mengkilap,tekstur,pencahayaan,sampai efek karat ditampilkan dengan begitu sempurna. Sayang, saya sepertinya hanya menonton sebuah pertunjukkan lawak yang eye catching. Unsur drama yang biasanya menjadi perhatian serius para pembuat fim-film animasi Hollywood terasa sangat kurang. Naskah yang disuguhkan kurang berbobot, bertele-tele,dan terkesan memaksa. Apalagi penyelesaian masalah yang terlalu sederhana, seperti ketika Bigweld menjadi semangat kembali sesudah mendengar kalimat-kalimat kurang bermakna dari Rodney. Para voice actor juga terdengar kurang menggigit. Robin williams sepertinya tidak cocok memerankan karakter Fender. Atau mungkin karakter Fender sendiri yang memang tidak begitu menarik? Anda yang menentukan! Untungnya, unsur komedi yang sangat pas benar-benar menolong film ini. Mungkin hanya film inilah satu-satunya animasi CGI yang dapat menyamai kulucuan Shrek 2.

Cerita: 5/10
Pengisi suara: 6/10
Ending: 8/10
Overall: 7/10
CGI: 10/10

Thursday, April 07, 2005

Expression of my feeling today

A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V W X Y Z



-----------------------
I can no longer express it with paragraphs, sentences, and words.