Friday, February 25, 2005

Where's the guts?

Hari ini ketemu cewe-cewe cakep

Satu di warnet kampus

Satu di angkot

Duh, kemana sih nyali gue saat sedang dibutuhkan?

Danu "the horny face", i need your help...

Tuesday, February 22, 2005

Don't love me please...

Loving me will only hurt yourself

'cause we're not destined to be together




buat yang ngerasa....

Review: World Police Team America




America, f**k yeah!

Kita yang dulu pernah menonton serial TV Thunderbirds pasti langsung mengenali para pemain dalam film ini. Ya, boneka marionette! Boneka kayu yang pergerakannya dikendalikan oleh tangan manusia dengan memakai tali tipis. Trey Parker dan kawan-kawan tentunya masih waras dalam membuat film super lucu dan penuh kata-kata kasar ini, seperti dalam serial animasi South Park yang juga ditangani oleh mereka.

Film ini berkisah tentang suatu tim pemberantas teroris yang bernama Team America yang beranggotakan Chris (Matt Stone), Lisa (Kristen Miller), Sarah (Massasa), dan Joe (Trey Parker). Mereka selalu bertindak sangat gegabah dalam menangani teroris, yang justru mengakibatkan kerusakan yang lebih parah daripada yang dapat dilakukan teroris. Tidak heran kalau hal ini membuat masyarakat membenci mereka sama seperti teroris. Pada suatu misi yang berbahaya di Mesir, bos mereka, Spootswoode (Daran Morris), merekrut seorang aktor handal, Gary (Trey Parker), untuk menyusup ke dalam markas musuh guna membantu Team America menemukan sang pimpinan teroris. Seperti biasa, sang gembong dapat ditangkap namun kerusakan yang dibuat oleh Team America sangatlah besar. Hal ini tentu saja mengundang protes keras dari suatu afiliasi para aktor dan aktris terkenal. Perkumpulan ini kemudian hendak mengadakan suatu kongres anti kekerasan menentang teroris dan juga Team America. Kongres ini diadakan di Korea Utara,di markas seorang yang mensponsori kongres tersebut, yaitu Kim Jong Il (Trey Parker), dan dihadiri oleh para pemimpin dunia. Rupanya di balik ini semua ,Kim Jong Il, yang adalah otak teroris sebenarnya, mempunyai rencana untuk menguasai dunia. Hanya Team America-lah yang dapat menghentikan aksi Kim Jong Il ini.

Tidak digunakannya CG ataupun clay animation pada film ini rupanya berhasil meningkatkan kelucuan. Kata-kata kasar, lirik soundtrack yang kasar dan aneh,humor-humor kasar bahkan menjurus ke pornografi dapat disajikan dengan sangat menghibur. Suatu hal yang sulit ditemui pada film-film slapstick pada umumnya. Gerakan boneka-boneka marionnete yang cenderung kaku tidaklah membuat film ini aneh dan berkurang kelucuannya. Justru hal tersebut membuat film ini semakin kocak. Tetapi hal-hal tadi akan sangat tidak nyaman bagi penonton yang tidak menyukai kata-kata kasar.

Dalam film ini terdapat banyak sekali terdapat sindiran yang dapat membuat orang yang bersangkutan marah. Seperti afiliasi aktor dan aktris yang terdiri dari oang-orang terkenal seperti Sean Penn, Matt Damon, Liv Tayler, George Clooney, bahkan Michael Moore (Farenheit 9/11)! Team America pun sebenarnya merupakan plesetan dari negara Amerika dan sekutunya yang kerap bertindak sembarangan dalam membasmi teroris sehingga menimbulkan kerusakan yang tak kalah hebatnya. Seperti sang bos, Spootswoode, yang mirip dengan George W. Bush.

Rupanya lagu-lagu dalam film ini digarap dengan serius. Lagu-lagunya dibuat khusus untuk film ini, hanya sedikit yang mengambil lagu penyanyi lain, dan semuanya dilantunkan dengan sangat merdu. Suatu nilai tambah bagi film ini.

Cerita 6/10
Pengisi suara 7/10
Ending 6/10
Funny-o-meter 9/10

Sunday, February 20, 2005

Review: Finding Neverland


*Road to Oscar

Dalam rangka menyambut acara penganugerahaan Piala Oscar 2005, saya akan mencoba memberikan review satu film yang lolos dalam nominasi Oscar pada beberapa kategori. Film ini adalah Finding Neverland.

“One day I’ll take you there (neverland)”- James Barrie


Jika kita sudah sering menonton kisah Peter Pan , maka kali ini kita menyaksikan kisah tentang sang pembuat cerita Peter Pan tersebut. Film ini terinspirasi dari kisah nyata dari tokoh bernama Sir James Matthew Barrie (Johnny Depp), seorang penulis cerita terkenal untuk teater-teater drama di London, yang kebetulan pada tahun tersebut (1903) tempat-tempat seperti itu merupakan tempat favorit para kalangan berduit untuk berekreasi. Layaknya bioskop pada zaman sekarang. Pada suatu malam saat teater tersebut menampilkan suatu cerita karya James Barrie, penonton terlihat bosan dengan pertunjukkannya sampai-sampai ada yang tertidur. Ekspresi kebosanan dari para penonton ini dapat dilihat dengan jelas oleh James dari belakang panggung. Saat pertunjukkan selesai dan para penonton menyalami James sembari mengatakan bahwa pertunjukkannya sangat hebat,ia merasa bahwa semua itu hanyalah basa-basi. Karena itu James mencoba mencari ide cerita yang unik yang dapat membuat penonton takjub. Hal ini tentunya tidaklah mudah. Sampai suatu hari dimana ia bertemu secara kebetulan dengan seorang janda dengan empat orang anak, Sylvia Davies (Kate Winslet), di sebuah taman. James sangat tertarik dengan keempat anak-anak Sylvie tersebut, terutama dengan anak yang bungsu bernama Peter (Freddie Highmore) , seorang anak yang sangat kritis dalam segala hal. Pertemuan ini berlanjut dengan kedekatan hubungan antara James dan Sylvia serta keempat anaknya yang sangat menyukai James karena ia adalah seorang yang lucu, kekanak-kanakan dan imajinatif. Namun hubungan antara James dan Sylvia ini tidak disukai oleh Mary Ansel Barrie (Radha Mitchell) ,yang adalah istri James, dan juga oleh Mrs. Emma An Maurier (Julie Christie) , ibu dari Sylvia. Dari semua inilah, James mendapatkan ide untuk membuat kisah tentang Peter Pan dari Neverland.

Sangat indah. Itulah kata yang tepat untuk menggambarkan film yang diproduseri oleh Richard N. Gladstein dan Nellie Bellflower serta disutradarai oleh Marc Foster ini. Jalinan kasih antara James dan Sylvia yang tanggung, hubungan antara James dengan anak-anak Sylvia, konflik antara James dengan istrinya serta dengan Mrs. Emma digambarkan dengan begitu proporsional. Apalagi dengan ditambah beberapa dialog yang lucu , membuat keseriusan drama ini sedikit lunak. Beberapa adegan yang merupakan khayalan dari James dapat disisipkan secara langsung di antara adegan-adegan nyata tanpa membuat penonton kebingungan. Kisah tentang Peter Pan sendiri yang ditampilkan di panggung teater hanya sedikit yang dapat kita lihat, karena memang fokus cerita film ini adalah pada James Barrie yang menemukan ide cerita Peter Pan. Para pemain berakting dengan luar biasa, baik Winslet,Depp,maupun para pemeran anak-anak Sylvia. Mungkin satu hal yang sedikit mengganggu adalah cara Depp mengucapkan logat Inggris yang terdengar begitu memaksa. Tampaknya kesulitan ini tidak ditemui oleh para pemain lainnya karena mereka adalah orang Inggris asli. Secara keseluruhan,film ini memang layak mendapat nominasi Oscar.


Cerita 7/10
Pemain 8/10
Ending 8/10
Overall 8/10

Friday, February 18, 2005

Scientific Love Letter

Hari itu, ketika tubuhku pada metabolisme nya
yang terendah...

Mataku berakomodasi tak percaya...
Benarkah yang tertangkap oleh nervi optici-ku??

Dalam sms mu...
Katamu, akulah nukleus kehidupanmu...
Katamu, jika kau flagelatta, maka akulah ATP...
Katamu, jika kau inflamasi, akulah prostaglandin...

Sadarkah kau??
Kau berhasil membuatku mengalami hipertensi
fisiologis dan tachycardi
Perintahkan membrana tympani mu mendengar
seluruh discuss vertebralis ku berkata...

"Setiap cardiac outputku membutuhkan
pacemaker darimu.
Setiap detail gerakan glossus mu merangsang
saraf simpatisku."

"Ucapan selamat malammu laksana diazepam...
Ucapan "jangan menangis, sayang"mu bagaikan
valium bagiku...
Dan ketika kau pergi...terasa bagaikan
imunosupresi untukku..."

Apa yang terjadi padaku??

Cinta kau bilang??
Tak pernah kudengar Dorland mengucapkannya...
Di jurnal mana aku bisa memperoleh Randomised
Control Trial dengan Double Blind tentang nya??

Diagnosa aku...
Infus aku dengan cairan elektrolit "aku milikmu"...
Dan kita akan mengaktivasi seluruh sistem organ
kita bersama-sama...
Sampai brain stem death memisahkan kita...

---------------------------

Surat ini saya dapat dari Vinaya melalui e-mail. Dia emang suka forward yang aneh-aneh. Tapi yang satu ini kelihatannya unik, jadinya saya taruh saja di blog. Sebenarnya ada lagi surat seperti ini hasil karya anak matematika IPB angkatan 39 sewaktu Masa Perkenalan Fakultas. Andai saja dapat saya temui si pembuatnya, pasti suratnya akan saya tampilkan juga di sini.

Tuesday, February 15, 2005

JL. K.H. Ahmad Dakhlan no 14 Makassar, Sulsel


I was going to give you bigger chocolates
But if valentine is only a matter of chocolates
I'd better take you somewhere to eat chocolates as much as you like
I promise i will...
What i hope from this moment of valentine is
That you remember me always

nb:
Gw bingung mau ngasih coklat yang mana
Jadinya gw kasih aja tiga-tiganya

Friday, February 04, 2005

Long queue

Tenchu:fatal shadow, Gran Tourismo 4, Shadow of Rome, Nanobreaker.....

Judul-judul game PS2 itulah yang membuatku bertanya kepada mbak penjaga toko,

"Mbak, ATM BCA ada di sebelah mana ya?".

Uang di dompetku tinggal dua puluh ribu. Tadinya aku hanya berencana membeli satu judul, tetapi judul-judul baru yang muncul ternyata ada banyak. Uang yang kupunya hanya cukup untuk membeli dua buah judul dan ongkos untuk pulang ke Depok. Karena itu kuputuskan untuk mengambil sedikit uang di ATM.

Sesampainya di mesin ATM, kudapati antrian yang lumayan panjang, sekitar sepuluh orang. Tanpa sempat menggerutu, aku ikut mengantri. Tetapi sampai ada sepuluh orang lagi di belakangku, tetap saja orang yang pertama di mesin atm tadi belum juga selesai. Ingin rasanya aku berteriak, "CEPETAN DONK!!". Tetapi hati kecilku berkata,

"Sabar, ndre. Lo kan orang paling sabar di dunia! Tuh liat orang lain yang ngantri sama lo dari tadi, kalem-kalem aja tuh! Masa lo kalah?"

Namun judul-judul yang berseliweran di kepalaku dari tadi, serta matahari yang sudah hampir terbenam membuatku ingin cepat-cepat mengakhiri aktifitas konyol ini untuk segera pulang ke rumah dan menikmati asyiknya bermain di kamar sendiri. Karena itu aku menyeletuk saja,

"Lama banget sih?"

"Iya nih, kok lama banget sih?" "Ngapain sih, mas?" "Ngambil uang berapa banyak sih?" "Tranfer uang ke mana sih, mas?" " Mau ngambil uang atau ngebobol ATM?" "Transfernya di Djuanda aja sana, biar lebih cepat!" "Perlu dibantu gak, mas?" "Cepetan donk mas, antrian udah panjang nih!" "Udah gantian! Sana antri lagi!" "Kasihan pak diteriakin kayak gitu!" "Jangan-jangan lama begini cuma mau ngecek saldo?" "Hoi, buruan!" "Emangnya ni ATM punya situ?" "Ada yang mau pake juga nih!", seru para pengantri yang lain, bersahut-sahutan.

Whoops, ternyata bukan cuma gue doank yang nggak sabar....

Thursday, February 03, 2005

Extra service, extra price

"KRL tujuan Bogor saat ini berangkat dari stasiun Pondok Cina"

Tak lama berselang...

"Jalur empat dari utara masuk KRL tujuan bogor"

Baru sekitar sepuluh menit aku menunggu sambil membaca surat kabar ketika aku mendengar suara tersebut dari pengeras suara. Saat kereta datang, nyaliku menjadi ciut melihat banyaknya penumpang berdesakan di dalam gerbong dan calon penumpang yang tak kalah banyaknya.

"Setengah jam berdesakan kayak gitu? This is insane!", pikirku.

Tiba-tiba pintu ruang masinis terbuka dan ada suara yang berseru dari dalam,

"Ayo masuk,masuk..."

Kuberanikan diri melangkah masuk ke ruang masinis. Di dalamnya, kudapati ruangan yang sangat lega, yang hanya terisi oleh beberapa orang termasuk sang masinis. Kereta pun kembali melaju...

"Hayo, yang di depan nambah (bayarnya) yaa...!" seru sang masinis tak lama kemudian.

well, extra service extra price...

Tuesday, February 01, 2005

Review: Shattered Glass


Film ini sudah lebih dari setahun yang lalu beredar di sini, namun (lagi-lagi) saya baru berkesempatan menontonnya di DVD. Karena film ini bukan merupakan salah satu dari jejeran film-film “most wanted” bagi para movie mania sehingga hampir saja luput dari perhatian saya. Namun apakah benar film ini tidak layak dicap sebagai “most wanted”?
Here goes my review, enjoy!

This review is dedicated to my bestEST friend, Ikram Putra Nasution,
a great journalist wannabe.

Telah banyak beredar film yang mengangkat kisah seputar jurnalistik, namun hanya segelintir produser yang berani mengangkatnya dari kisah nyata. Salah satunya adalah produser Craig Baumgarten dkk dengan memproduksi film Shattered Glass, yang didistribusikan oleh Lion Gate Films. Film ini berdasarkan sebuah novel non-fiksi karya H.G Bassinger

Pada intro film ini, penonton langsung dihadapkan pada seorang sosok penulis handal, yaitu Stephen Glass (Hayden Christensen) yang bekerja pada sebuah majalah “The New Republic”, yang diklaim sebagai satu-satunya majalah resmi untuk pesawat Air Force One. Suatu prestasi yang hebat tentunya. Cerita kemudian berlanjut pada ruang kantor tempat Glass bekerja. Di tempat tersebut, terdapat sebuah friendship yang sangat erat di antara Glass dan teman-temannya. Yang diantaranya adalah Cathlyn (Chloe Sevigny) dan Amy (Melany Lynskey). Mereka semua, sama seperti Glass, adalah para penulis handal majalah tersebut. Para penulis ini juga menunjukkan suatu respect yang sangat besar kepada editor mereka, Michael Kelly (Hank Azaria). Hubungan di antara para penulis dan editornya ini berjalan tampaknya berjalan dengan baik. Sampai suatu hari dimana Michael digantikan posisinya oleh seorang penulis yang masih baru, yaitu Charles “Chuck” Lane (Peter Sarsgaard). Chuck rupanya kurang disenangi oleh para rekannya karena suka mencari muka di hadapan sang pemimpin redaksi. Kebencian ini bertambah ketika Chuck meragukan kebenaran sebuah artikel yang ditulis oleh Glass yang berjudul “Hack heaven”.

Kecurigaan Chuck bermula ketika seorang penulis dari majalah lain, Adam Penenberg (Steve Zahn) berusaha untuk mencari tahu narasumber yang dipakai oleh Glass sebagai bahan penulisannya. Namun semua pencarian ini berakhir nihil. Karena itu Adam melaporkan hal tersebut pada Chuck, sebagai editor majalah The New Republic. Khawatir tentang hal ini, maka Glass berusaha mati-matian untuk meyakinkan Chuck dan Adam bahwa artikel yang ia tulis benar-benar berdasarkan fakta.

Sineas sekaligus penulis naskah Billy Ray rupanya cukup sukses dalam menggambarkan dunia jurnalistik. Bahkan ia, melalui film ini, tak segan memberikan berbagai informasi bagi para penonton tentang hal-hal yang berkaitan dengan jurnalistik. Pada setengah jam pertama, penonton dihadapkan pada situasi ruangan kantor The New Republic dan kegiatan para tim redaksi. Setelah itu, masalah mulai diperkenalkan secara perlahan dan tanpa kita sadari telah mencapai klimaksnya. Bagian akhir film ini ditutup dengan sebuah ending yang sangat menarik, yang seakan-akan memuaskan kehausan penonton akan sebuah penyelesaian masalah. Ray cukup pintar memainkan emosi penonton, yang mendukung Glass pada satu waktu, dan tiba-tiba mendukung Chuck pada waktu lainnya. Ia juga dapat dengan baik menggambarkan hubungan yang erat antara Glass dan teman-temannya, walaupun penonton sepertinya dibuat pasrah menerima bahwa mereka memang berteman dengan baik sejak lama sebagai tim penulis The New Republic, entah kapan.

Sama seperti para penulis yang memiliki kekurangan dalam tulisannya, begitu pun juga film ini. Alur yang bergerak dengan sangat tergesa-gesa pada beberapa bagian film ini dan plot yang datang secara sporagis, membuat penonton sedikit terengah-engah dalam mengikuti jalan ceritanya. Namun hal ini sebenarnya dapat diatasi apabila film ini dibuat berdurasi lebih panjang dari durasi sebenarnya, yaitu 90 menit. Mungkin sang sutradara takut jika ia malah memberikan kesan bertele-tele apabila film ini dibuat lebih panjang. Banyak adegan-adegan emosional pada film ini yang sebenarnya dapat dimanfaatkan dengan sangat baik oleh para pemain untuk menunjukkan bakat beraktingnya. Ternyata hal tersebut tidak ditunjukkan oleh mereka. Terutama peran Glass sendiri, yang dibawakan dengan cukup datar sehingga perannya sebagai tokoh utama justru tersamarkan oleh Chuck.

Cerita 6/10
Pemain 5/10
Ending 8/10
Overall 6/10

Thanx to:
Ikram, who has asked me to write this review
Gerimis, tempat gue nyewa DVD (as always….)