Tuesday, May 24, 2005

THREE

WHICH ONE IS SO FUCKING STUPID?
THIS COUNTRY OR I???


Entah kenapa, pelayanan transportasi di negara kita semakin kacau saja. Hari senin tanggal 16 Mei 20005 kemarin saya naik kereta ekonomi tujuan Bogor dari stasiun depok lama. Saya menunggu lama sekali. Yah, kalau yang ini sih saya maklum. Paling-paling terlambat berangkat dari stasiun kota. Atau bisa jadi lama menunggu untuk mempersilahkan kereta express lewat dulu. Tak lama kemudian (sebenarnya lama) kereta tersebut datang. Untuk sampai ke Bogor dari stasiun depok lama, kereta tersebut harus melewati tiga stasiun terlebih dahulu, yaitu stasiun citayam, bojong gede dan cilebut. Sesampainya di stasiun cilebut, terdengar pengumuman dari pengeras suara:

“Kereta tujuan bogor di jalur satu akan kembali ke Jakarta.”

Pikirku, “Damn!!! Bogor is only few steps away!!! Satu stasiun lagi!!!”

Tak lama saya mengetahui bahwa kereta tujuan Jakarta yang berangkat dari bogor telah mogok beberapa meter dari stasiun cilebut. Karena itu kereta yang saya naiki akan diberangkatkan kembali ke Jakarta bagi para penumpang di kereta yang telah mogok tadi.

Bagi saya ini merupakan suatu penghinaan. Tidak pernah ada aturan ataupun norma yang mengatakan bahwa penumpang tujuan Jakarta harus diutamakan terlebih dahulu. Kalau aturan yang bilang bahwa penumpang yang turun dari kereta harus didahulukan daripada penumpang yang akan naik sih ada. Bagaimana pun alasan manajemen perkereta-apian tentang masalah lintasan ini, tetap saja sangat tidak etis mengorbankan para penumpang tujuan bogor demi penumpang Jakarta. Apalagi pihak manajemen tidak bertanggung jawab atas hal ini. Paling tidak seharusnya mereka mengembalikan uang biaya tiket para penumpang. Namun yang bisa mereka lakukan hanyalah menyuruh kami menunggu kereta tujuan Bogor berikutnya saja.

Memangnya mereka pikir kami naik kereta untuk apa? Untuk sekedar sampai ke Bogor? Bukan! Tapi untuk sampai ke Bogor dengan cepat!

Akhirnya saya dan beberapa penumpang lainnya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Bogor dengan angkot, yang memakan waktu 45 menit. Padahal waktu yang diperlukan oleh kereta untuk sampai ke stasiun bogor dari stasiun cilebut adalah 10 menit. Untung saja saya berangkat dari Depok agak lebih awal sehingga sesampainya di kampus saya tidak terlambat.

Belum, ini belum selesai…

Lima hari kemudian, saya hendak pulang ke Depok dengan kereta dari stasiun bogor. Ketika saya sedang antri membeli tiket saya mendengar pengumuman:

“Kereta tujuan Jakarta saat ini belum tersedia karena keretanya mogok dalam perjalanan kembali ke bogor. Saat ini keretanya sedang didorong ke stasiun depok lama agar kereta tujuan Bogor berikutnya dapat lewat.”

Saya benar-benar kesal. Apalagi saat itu saya sedang memperhatikan iklan dari PT. Kereta Api tentang layanan pembelian tiket via online.

“Benerin dulu tuh kereta! Buat apa calon penumpang bisa gampang beli tiket kalau nggak ada yang bisa dinaikkin?”

Yaaah, walaupun sebenarnya iklan tadi adalah untuk tiket kereta express. Tapi yang namanya orang sedang kesal kan umpatan dan hinaan bisa diarahkan ke mana saja.

Karena itu saya bergegas pergi ke terminal untuk naik bis saja pulang Depok. Perhitungan waktu saya begini:

Untuk menunggu kereta kembali ke Bogor butuh waktu setengah jam. Itu pun kalau kereta tujuan Bogor sesudah kereta yang mogok tadi sudah sampai di stasiun depok lama saat itu. Kalau belum, tentunya akan memakan waktu lebih lama lagi. Sesampainya di Bogor, tentu saja akan memakan waktu paling cepat 15 menit, paling lama setengah jam, untuk kemudian berangkat kembali ke Jakarta. Untuk sampai ke Depok, kereta tersebut butuh waktu setengah jam. Jadi, total waktu saya akan sampai di Depok adalah berkisar antara 75 menit sampai 105 menit.

Kalau saya segera pergi ke terminal saat itu, saya akan sampai dalam waktu 15 menit. Dan perjalanan ke Depok menggunakan bis paling lama adalah satu jam. Karena itu total waktunya akan lebih cepat daripada menggunakan kereta.

Ternyata perhitungan saya salah total.

Perjalanan saya ke terminal memakan waktu setengah jam. Ini karena angkot yang saya naiki mengetem terlebih dahulu. Belum lagi masalah kemacetan yang tidak mungkin pernah hilang di Jabotabek ini. Sesampainya di terminal, bis tujuan Depok ternyata belum ada yang mengetem. Kalaupun saya menunggu sampai bisnya tersedia, yang tentunya akan memakan waktu lama, pastinya bis tersebut akan mengetem dahulu baru kemudian berangkat. Wow, tentunya ini akan menjadi jauh lebih lama lagi. Karena itu saya memutuskan untuk kembali ke stasiun , yang memakan waktu 15 menit.

Sesampainya di stasiun bogor, ternyata keretanya sudah tersedia. Bahkan kereta tersebut adalah kereta ke dua yang sampai di Bogor setelah kereta yang mogok tadi. Kalau saja saya sabar menunggu, tentu saya telah menaiki kereta yang pertama datang tadi.

-----------------------------------------------------------

UJIAN PSM

“Sar, nomor berapa yang udah selesai?”

“Belum ada”

“Sar, nomor lima udah belum?”

“Udah. Nih!”

“Sar, nomor berapa lagi yang udah?”

“Nomor enam nih, mau?”

“Mau donk. Kalo udah ada yang udah lagi kasih tau gue ya!”

Begitulah kira-kira percakapan yang terjadi antara saya dan teman saya, Tesar, saat ujian PSM (Penentuan Struktur Molekul) hanya menyisakan waktu setengah jam lagi. Ujian yang sebenarnya berdurasi tiga jam ini dalam dua setengah jam pertamanya diisi oleh saya dengan mencorat-coret tidak jelas dan mengkhayal. Percakapan tadi hampir saja tidak terjadi kalau saja saya memutuskan untuk meninggalkan lembar jawaban saya kosong. Namun apa daya, saya bukan muka badak. Malu juga rasanya kalau saya serahkan lembar jawaban ini ke pak dosen eksentrik kami , Pak Farid, dengan keadaan kosong.

Soal-soal ujian yang biasa Pak Farid berikan hanya mampu dikerjakan oleh para mahasiswa yang benar-benar menguasai mata kuliah ini. Bagi yang hanya sedikit menguasai, menguasai sebagian atau setengahnya, dan yang hampir menguasai seluruhnya, nasibnya akan sama saja dengan yang benar-benar tidak menguasai. Karena itu, untuk menghemat energi, saya lebih baik termasuk ke dalam yang sedikit menguasai.

-------------------------------------------
MY CURRENT FAVORITE BEVERAGES

Vodka Cruiser.

Genuine double distilled vodka with a twist of exotic californian orange.

Contains 5,0% alcohol/volume






-fin-

Monday, May 09, 2005

Review: Kingdom Of Heaven

Ini adalah review yang ditulis oleh teman saya, Steven Gunawan, a movie maniac with amazing GPA. Nonton ok, kuliah ok! Wow, i envy him...

“Tuhan pasti mengerti mengapa kita membakar mayat-mayat ini. Kalau tidak, berarti Dia bukan Tuhan” ~ Balian of Ibelin

Begitulah kurang lebih terjemahan satu dari sekian banyak dialog favorit yang saya temukan dalam film terbaru Ridley Scott, Kingdom of Heaven. Awalnya saya cukup terkejut karena film ini ternyata dirilis worldwide tanggal 6 Mei 2005. Banyak alasan mengapa saya begitu antusias untuk menonton film besutan sutradara yang pernah membawa Russell Crowe menjadi aktor terbaik dalam ajang Academy Awards beberapa tahun silam lewat film karyanya, Gladiator. Pertama, tentu saja faktor Ridley Scott sebagai sutradara. Saya rindu akan film epik yang didominasi drama seorang warrior seperti yang pernah diraciknya dalam film Gladiator. Kedua, aktor impor asal Inggris, Orlando Bloom, yang sekarang benar-benar menjadi america’s sweetheart karena ketampanannya dan aktingnya yang menawan. Sekedar informasi, 5 dari enam film yang pernah ia bintangi sebelumnya selalu menghasilkan gross (USA) di atas $100 juta. Empat di antaranya bahkan di atas $300 juta! (Trilogi Lord of The Ring dan Pirates of The Carribean: The Curse of The Black Pearl). Alasan terakhir, saya sudah tidak sabar nonton summer movies. Di amerika sana sudah mau summer bukan? (apa sudah yah?). Yah, pokoknya saya berharap film ini menjadi awal yang baik untuk film-film liburan musim panas tahun ini. Penasaran dengan review dari saya? Tenang, saya cerita dulu tentang filmnya, barangkali Anda malah belum pernah dengar tentang film yang konon mengundang banyak kontroversi ini.

France, 1189. Godfrey (Liam Nesson) menjemput anaknya Balian (Orlando Bloom) untuk pergi ke Yerusalem mengabdi pada Raja Baldwin IV. Takdir memang sudah tergariskan; Godfrey terluka dalam perang kecil saat perjalanan dan nyawanya tak dapat diselamatkan. Balian pun diangkat menjadi Knight untuk menggantikannya memimpin daerah kecil bernama Ibelin. Mengingat kondisi Baldwin IV yang menderita penyakit kusta dan sekarat, Balian ‘disuruh’ mengikat janji untuk menikahi adik perempuannya, Sibylla (Eva Green). Keteguhan hati membuat Balian tidak dapat begitu saja menjual jiwanya untuk suatu hal besar, yang kelak mungkin akan mengubah sejarah kalau saja ia menuruti perintah sang raja kala itu.

Guy de Lusignan, suami Sibylla, akhirnya diangkat menjadi raja Yerusalem yang baru setelah Baldwin IV mangkat. Dengan menjadi raja baru, keinginan Guy (baca: Gi) untuk menghabisi seluruh umat muslim dapat terlaksana. Bersama antek-antek dan teman-(penasihat?)-nya, Reynald de Chatillon, ia menyatakan perang terhadap kaum muslim yang ketika itu dipimpin oleh Saladin (baca: Sala-hu-din). Sayang, tanpa taktik yang matang, walau telah diperingati sebelumnya oleh Balian yang sungguh sangat tidak disukai Guy terlebih karena perselingkuhan antara sang knight dan sang ratu, ia pun akhirnya kalah dan membawa petaka bagi bangsanya sendiri. Tiberias (penasihat Baldwin IV) yang tidak setuju akan perang tersebut, memutuskan untuk pergi ke Siprus, sedang Balian tinggal sendiri bersama anak buahnya. Dan Sibylla sebagai ratu menjaga kekokohan kota Yerusalem sampai titik darah penghabisan. Bagaimana kisah akhirnya? Siapakah pemenang dari perang antar dua agama terbesar dalam sejarah umat manusia tersebut? Akankah Balian menjadi raja Yerusalem yang baru? Tentu saja Anda ingin mengetahuinya sendiri bukan?

Well, saya langsung beranjak ke review saja. Puas, itulah kata yang saya ucapkan sesudah menonton film yang satu ini. Puas karena ceritanya, puas karena ending-nya, puas karena screenplay-nya, puas karena aktingnya, dan puas karena efek perangnya. Cerita sejarah ini dikemas dengan baik oleh sang sutradara. Dia berhasil mengesampingkan kontroversi yang berhembus sejak awal produksi hingga pemutaran perdana film ini. Kedua pihak dalam film ini dibuat sama-sama salah, atau malah keduanya dibuat benar sekali pun. Fair enough, huh? Akhir dari perang salib ini semakin menyempurnakan ide Ridley yang menyatakan bahwa tidak ada intensi untuk menjatuhkan atau mengagungkan agama tertentu.

Yang paling menarik dari film ini tentu saja screenplay-nya. HTM sebesar Rp. 17.500,00 di bioskop yang saya kunjungi untuk film berdurasi dua setengah jam lebih ini seperti tidak terasa karena banyaknya quote-quote berkualitas yang sungguh menjadi teori-teori baru dalam hidup saya pribadi. Jangan sampai Anda lewatkan sumpah ketika seseorang diangkat menjadi Knight, filosofi penasihat agama Yerusalem tentang bagaimana seharusnya agama itu sendiri, kata-kata kemarahan yang diucapkan Sibylla ketika dia ‘ditolak’ Balian dan kejengkelan Balian pada uskup Yerusalem saat ia hendak meng-‘kremasi’ prajurit-prajurit yang tewas. Kualitas skrip yang sungguh mendobrak realita, saat itu dan sekarang, yang dipagari oleh kaidah atau aturan yang percaya atau tidak terkadang justru membatasi pola pikir kita. Aneh memang, karena justru salah seorang yahoo user yang review-nya dianggap helpful malah berkomentar ‘only for the script I would give it a C’. Beda prinsip kali ya?

Bicara soal akting, Orlando Bloom was fine. Namun agaknya sulit untuk membentuk Bloom menjadi se-berkualitas Crowe. Mungkin image sang elf Legolas belum lepas dari Orlando (coba lihat saja gaya memanahnya di Troy). Tapi kualitas aktingnya banyak menunjukkan kemajuan, walau saya tetap ragu apakah namanya akan muncul dalam nominasi Golden Globe atau bahkan Academy Awards. Paling tidak, Ridley Scott tak salah memberinya kesempatan untuk menjadi satu-satunya tokoh utama dalam film ini. Sayang Liam Nesson tidak banyak mendapat tempat (keburu dijemput ajal sih), sedang Eva Green rupanya tidak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk menggali kualitas aktingnya.

Terakhir, perang yang disuguhkan Balian dan Saladin benar-benar menunjukkan bahwa otak jauh lebih penting daripada otot. Taktik brilian keduanya ditambah dengan ending yang baik menampilkan suguhan yang tidak akan membuat Anda bosan. Kalau dibandingkan, efek perang ini mungkin tidak sebaik pada LOTR, tapi tidak kalah dengan Troy dan tentu jauh lebih baik dari Alexander. Secara keseluruhan, saya melihat film ini patut ditonton. Selain kelima alasan di atas, Anda juga bisa belajar banyak tentang sejarah yang terjadi lebih dari 800 tahun lalu tersebut. Tak usah pusing siapa yang benar atau salah dan siapa yang menang atau kalah. Kerajaan surga toh bukan ada di dunia; dia ada di pikiran dan di hati kita.

Rating : 4 out of 5

Oh yeah. I forgot. This is how I suppose to rate huh?
Cerita : 7/10
Akting : 7/10
Ending : 7/10
Overall : 8/10

Tuesday, May 03, 2005

I can't sleep.... Damn you, caffeine!!!

Caffeine is an alkaloid found naturally in such foods as coffee beans, tea, and (in small amounts) cacao beans. It is also added to some soft drink. Caffeine has a characteristically intense bitter taste. Its main pharmacological properties are: a stimulant action on the central nervous system with psychotropic effects and stimulation of respiration, a stimulation of the heart rate, and a mild diuretic effect. Caffeine consumption leads to pharmacologic tolerance with defined withdrawal symptoms. Caffeine is thought to act on the brain by blocking adenosine. Adenosine, when bound to receptors of nerve cells, slows down nerve cell activity; this happens, among other times, during sleep. The caffeine molecule binds to the same receptors but doesn't cause the cells to slow down; instead, the caffeine blocks the receptors and thereby the adenosine action. The resulting increased nerve activity causes the release of the hormone epinephrine (adrenaline), which in turn leads to several effects such as higher heart rate, increased blood pressure, increased blood flow to muscles, decreased blood flow to the skin and inner organs, and release of glucose by the liver. In addition, caffeine, similar to amphetamines, increases the levels of the neurotransmitter dopamine in the brain.
-taken from:http://en.wikipedia.org/wiki/caffeine-

Saya bukannya ingin memulai penelitian tentang kafein untuk penyusunan skripsi saya. Tapi saya hanya ingin menutup hari saya yang sudah penuh dengan kafein agar terasa lebih komplit. Pagi tadi saja sesudah mandi saya menenggak sebotol Kratingdaeng. Soalnya saya ngantuk banget pagi ini, hanya tidur malam 4 jam. Kebanyakan main Command & Conquer Generals. Padahal jam 7 pagi saya sudah harus tiba di lab analitik untuk praktikum analisis kandungan kafein dengan metode Infra Red Spectroscopy. Sampelnya pun memakai minuman berenergi (Kratingdaeng, M-150, Hemaviton jreng). Saya dan teman-teman tentunya hanya memakai beberapa mililiter sebagai sampel. Sisanya, ya kami minum.

Siangnya, saya menghabiskan dua Teh botol Sosro untuk mengakhiri makan siang saya (Ingat, teh juga mengandung kafein 10-20 miligram). Sorenya, saya memanjakan diri dengan segelas Indocafe Coffemix yang saya ambil dari ruang rapat di dekat lab. Bukannya mencuri loh, tapi tadinya coffemix itu (yang masih di dalam sachet) memang disediakan untuk pengunjung yang memakai ruang rapat (untuk rapat, tentunya). Saya kan juga “pengunjung” yang memakai ruang rapat, walaupun hanya untuk briefing praktikum.

Sebelum tidur sore (late afternoon nap, or whatever you call it) kepala saya pusing banget. Pengen rasanya minum obat Panadol Ekstra. Wah, tau sendiri kan kandungan kafeinnya? Untung saya ngantuk banget, sampai-sampai tidak kuat lagi melangkah untuk mengambil obat (jarak tempat tidur-laci obat = 1,5 meter). Dan malam harinya, untuk menemani makan malam saya, minumnya ya Teh botol Sosro (lagi?).

Jadi, hitung sendiri jumlah kafein yang saya konsumsi hari ini!

Eh ngomong-ngomong, ekstrak kopi pada permen Kopiko masih mengandung kafein nggak ya? Kalo iya, tambahkan sendiri lah jumlahnya, karena saya makan beberapa butir.

Thursday, April 28, 2005

Hard Stylish Action.

Dua bulan belakangan ini para pemilik “kotak hitam” Playstation2, yang sedang kehausan akan game-game RPG (Role Playing Game), justru dipuaskan oleh kehadiran game-game hard stylish action yang bermutu.

Hard stylish action merupakan suatu genre game yang berfokus pada aksi-aksi yang penuh gaya. Faktor eksplorasi dan puzzle kurang ditekankan. Kurang bukan berarti tidak ada. Salah satu cirinya adalah pertarungan melawan banyak musuh dengan menggunakan kombinasi tombol serang yang banyak serta membutuhkan kecepatan tangan dan ketepatan kita. Tentu saja yang disuguhkan kepada kita lewat layar TV adalah suatu grafis yang mengagumkan serta gameplay yang cepat dan menegangkan. Tak lupa diiringi dengan musik yang keras dan cepat, disesuaikan dengan tema game masing-masing.

Para gamer (baca: orang yang menganggap bermain video game adalah suatu hobi yang serius, mewah dan berkelas) tentunya sudah mengetahui salah satu game hard styish action yang dirilis bulan Maret lalu, yaitu Devil May Cry 3. Tidak ada yang berani menyangkal kehebatan franchise serial Devil May Cry ini. Sebagai prekuel dari cerita Devil May Cry 1, game ini begitu luar biasa. Aksi yang cepat, puzzle yang menantang, storyline yang cukup solid, serta iringan musik underground yang membakar semangat benar-benar memuaskan para gamer.

Kita tinggalkan Devil May Cry 3, game yang pastinya akan mendapatkan penghargaan paling tidak untuk satu kategori pada video game award manapun. Ada satu game dengan genre serupa yang kurang diperhitungkan karena dikembangkan bukan oleh developer terkenal. Saya pun hampir saja luput memainkan game ini.

God of War, adalah game hard stylish action yang berkisah tentang seorang pendekar pada zaman dewa-dewi di Yunani yang bernama Kratos. Ia adalah seorang prajurit didikan dewa perang Ares. Perbuatannya yang keji selama masih menjadi prajurit Ares membuat ia selalu tidak dapat tidur dengan tenang. Maka ia memohon kepada dewi Athena untuk menghapus dosa-dosanya agar ia dapat hidup tenang. Karena itu Athena meminta Kratos untuk membunuh Ares yang sedang mengacau-balaukan Yunani.

Gameplay yang cepat, variasi mini game yang banyak, storyline yag solid, serta iringan musik choir yang benar-benar dapat menghanyutkan kita ke suasana kota Athena membuat game ini seharusnya mendapat nilai lebih daripada nilai “B” yang diberikan oleh majalah Zigma. Grafis yang halus serta dukungan progressive scan dapat membuat para pemilik progressive TV/HDTV (High Definition TV) bersorak gembira. Mungkin hanya unsur sinematiknya yang lemah lah yang menjadi point minus game ini. Itu pun sebenarnya bisa tertutupi andai saja suara surround yang telah diimplementasikan pada game ini mengadopsi teknologi Dolby Pro Logic II.

Game ini dirilis awal bulan April lalu, saat yang tepat bagi para gamer karena mereka pastinya sudah menyelesaikan Devil May Cry 3. Sehingga tidak ada alasan bagi mereka untuk mengendorkan urat syarafnya dari bermain game hard stylish action. Kecuali mereka juga penggemar berat game bergenre FPS (First Person Shooting) yang tentunya sedang disibukkan oleh dua game FPS bermutu: Time Splitters Future Perfect dan Project Snowblind.

“Video games is the only education we have” –Agent Xanders of XXX-

Wednesday, April 27, 2005

Congrats

Jika mendengar nama Pangon Agung Sajdito Mataram, yang terbayang di benakku adalah sosok seorang anak laki-laki yang gendut,berkulit legam, dan sok tahu.Hanya itu lah kesan yang bisa kutangkap darinya selama 10 tahun (TK-SMP) belajar di sekolah yang sama dengannya. Hanya itu,karena aku jarang mengobrol dengannya. Soalnya aku tidak begitu betah berlama-lama berbicara dengannya. Pikirku, bisa bisa aku mati kebosanan mendengar nasehat-nasehatnya yang basi serta gaya bicaranya yang kaku.

“Aduuuuh, ni orang. Ngomongnya gede banget, banyak nasehat, dasar orang kolot! Mau jadi apa sih lo nanti? Liat aja ntar, gue bakalan jadi lebih sukses dari lo!”, begitu pikirku setiap kali dia mengoceh.

Lulus SMP, kami memasuki SMU yang berbeda. Anggapanku, bahwa aku akan jadi lebih sukses, terasa semakin mantap. Itu karena aku berhasil masuk SMU negeri terbaik di kotaku. Sedangkan ia hanya masuk SMU negeri terbaik ke-3.

“Ok, my bright future awaits me. Let’s see what kind of future awaits you!”

Lulus SMU, aku cukup terkejut juga mendengar bahwa ia memutuskan untuk masuk STT Jakarta. Wow, rupanya ia bersungguh-sungguh ingin melayani Tuhan. Baguslah, mengumpulkan harta di Surga. Sana gih!

“Ok, kalo gitu gue ngumpulin harta di bumi dulu, huehehehe…”

Aku tetap bersikukuh bahwa aku akan lebih sukses. Dasar pemikiranku adalah bahwa masuk STT belum menjamin apa-apa. Walaupun saya yakin dia telah menjadi sosok seorang pemuda hamba Tuhan yang benar-benar saleh, namun bisa saja ia tergelincir (ke dalam dosa) saat masih kuliah di tempat itu atau ketika ia menjadi pendeta nanti. Dan aku bisa belakangan bersungguh-sungguh melayani Tuhan setelah mengumpulkan harta di bumi terlebih dahulu sebanyak-banyaknya.

Bingung? Aku memang terlalu banyak berandai-andai…

Sampai suatu hari aku mendengar kabarnya yang sedang dirawat di ICU karena jatuh dari kereta.

“Kasihan loh Pangon, ndre. Kalo nanti sampai meninggal gimana? Kasihan…”, kata mamaku.

Kasihan? Seharusnya aku yang patut dikasihani. Jika aku yang berada di posisi Pangon saat itu, tentunya masih muncul banyak keraguan tentang nasibku di afterlife. Surga atau neraka? Sedangkan ia, posisinya di Surga sudah dipastikan! Bukannya ingin sok menjadi Tuhan, tetapi kalo melihat perilakunya yang sopan, alim dan rajin beribadah selama hidupnya, hal itu bukanlah suatu keraguan lagi.

Ketika beberapa hari kemudian aku mendengar bahwa ia telah meninggal dunia, rasanya aku ingin menangis. Bukan, bukan menangisi dirinya, melainkan menangisi diriku sendiri. Masa depanku masih belum jelas. Sedangkan ia … “melupakan apa yang telah di belakang(nya) dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapan(nya), dan berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan sorgawi…” (Filipi 3:13b-14).

Yang benar-benar ingin kukatakan kepadanya saat ini bukannya “kasihan”, “selamat tinggal”, dan ucapan lainnya seperti yang telah orang lain katakan kepadanya. Tapi yang ingin kukatakan adalah, “Congratulations, buddy!”.

Tak bisakah kau meminta kepada Tuhan untuk menyisakan satu tempat untukku di sana?

“Sebab aku merana..., tulang-tulangku gemetar, dan jiwaku pun sangat terkejut,…TUHAN, berapa lama lagi?... Lesu aku karena mengeluh; setiap malam aku menggenangi tempat tidurku, dengan air mataku aku membanjiri ranjangku…Aku ini ulat dan bukan orang, cela bagi manusia…” (Mazmur 6:3-4,7; 22:7)
------------------------------------

In memoriam:
Pangon Agung Sadjito Mataram (30 April 1985 – 24 April 2005)